BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 28 Desember 2009

KEBUDAYAAN

Pendahuluan

Kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki secara bersama oleh warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai kebenaran sehingga fungsional sebagai pedoman. Satuan-satuan pengetahuan itu terumuskan dalam wujud kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, pepatah-petitih, peribahasa, wacana-wacana, dalil-dalil, rumusan-rumusan, bahkan teori-teori. Keseluruhannya digunakan secara selektif dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi. Penggunaan pengetahuan oleh orang per orang atau kelompok orang atau masyarakat, menggambarkan bahwa sejatinya pengetahuan dimaksud telah dipahami, diresapi, dan diyakini berkat adanya suatu proses pendidikan panjang (dari sejak kecil sampai dewasa) dalam bentuk internalisasi dan sosialisasi.

Misalnya, dua sejoli (laki-perempuan) bertemu lalu keduanya saling ingin memadu cinta bahkan perkawinan, tetapi setelah masing-masing tahu bahwa dirinya masih kerabat dekat (umpama: laki-laki itu adalah om untuk gadis yang mencintai), maka keduanya secara sadar menggagalkan rencana perkawinannya[1].

Melihat kasus hubungan pemuda dan pemudi yang membatalkan rencana perkawinan di atas, dapatlah kita renungkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang karenanya memiliki seperangkat pengetahuan yang dijadikan acuan pedoman yang disepakati bersama. Pengetahuan itu dipakai sebagai alasan yang mendasari dan yang mendorong, yang memotivasi, yang menentukan arah pilihan bertindak dan cara bertindak, serta hasil dari tindakan yang dinilai sebagai yang benar atau yang baik, menurut pikiran dan perasaan umumnya warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, kebudayaan bukanlah pengetahuan itu sendiri, atau tindakan itu sendiri, bukan pula hasil tindakan itu sendiri. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang telah diterima dan diberlakukan umum sebagai pedoman dalam bertindak di dalam interaksi sosial dan untuk merencanakan, melaksanakan, dan menghasilkan karya-karya dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk sosial secara beradab.

Dalam kehidupan masyarakat manusia, sistem nilai-budaya secara universal berorientasi kepada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar itu ialah menyangkut: Hakikat Hidup, Hakikat Karya, Persepsi Manusia tentang Waktu, Pandangan Manusia terhadap Alam dan Hakikat Hubungan antarmanusia. Berlakunya kelima orientasi nilai tersebut, dicontohkan oleh Koentajaraningrat (bandingkan pada Kluckhohn dan Strodbeck, 1961) sebagai berikut.

Contohnya, mengapa dalam bekerja seseorang tidak mengedepankan masalah prestasi kerja secara optimal? Bisa jadi karena nilai kerja bagi mereka hanya ditempatkan sebagai “sekedar dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup” atau dalam ungkapan Jawa: ”nyambut gawe kanggo ngupaya upa” (bekerja untuk sekedar memperoleh sesuap nasi). Pada sebagian warga masyarakat yang lain memburu posisi seperti ingin menjadi bupati karena motivasi kerja bagi mereka adalah “memperoleh kedudukan”. Jabatan atau kedudukanlah yang menjadi dan dijadikan orientasinya. Makna-makna dari orientasi nilai budaya itu untuk (1) merepresentasikan dunia-angan yang ingin dicapai; (2) mengarahkan yang bersangkutan melakukan sesuatu sebatas yang diinginkan; serta (3) memantabkan perasaan bahwa diri yang bersangkutan telah berbuat seperti apa yang diangankan.

Bertolak pada konsep “orientasi nilai budaya” Kluckhohn dan Strodbeck inilah Koentjaraningrat (1987) mengaplikasikannya untuk masyarakat Jawa dari golongan petani dan industri seperti berikut.

Kerangka Orientasi Nilai Budaya Orang Jawa

Orientasi

Orang Jawa

Orientasi Nilai Budaya

Agraria

Industri

Hidup

Nrimah, pasrah dan sumarah.

Suatu rangkaian kesengsaraan.

Keprihatinan dan ditentukan oleh nasib.

Kegembiraan dan ditentukan upaya manusia sendiri.

Kerja

Ngupaya upa.

Ojo ngongso.

Mencari makan dan harta/ kedudukan

Kepuasan untuk hasil kerja.

Hubungan antar manusia dan alam

Hidup selaras dengan alam

Tunduk kepada alam, atau selaras dengan alam.

Harus menyelami rahasia-rahasia alam dan menundukkan demi kepentingannya.

Persepsi tentang waktu

Berorientasi pada masa lalu.

Mengacu masa sekarang dan masa lalu yang jaya.

Mengacu masa yang akan datang.

Hubungan antar manusia dan sesamanya

Kolateral.

Mengacu, mencontoh, dan meminta restu orang senior.

Mengacu pada orang yang berprestasi tinggi, bersikap mandiri, dan individualisme.

Dalam pandangan kognitif, sebagaimana diajukan oleh Keesing, Goodenough, Tylor, dan Spradley, inti dari kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan (knowledges) dan simbol-simbol. Seperangkat pengetahuan itu berupa sistem-sistem kategori atau peta-peta pengetahuan (cognitive maps). Dengan peta kognitif yang dimiliki oleh masyarakat, memungkinkan yang bersangkutan menginterpretasi tingkah laku dan peristiwa-peristiwa yang teramati, memilih dan mengklasifikasi pengalaman serta menyusun rencana-rencana (plans) di dalam mencapai tujuannya. Sistem-sistem kategori yang ada didasarkan atas seleksi dari atribut-atribut yang menyertai. Hasil seleksi tadi diberi label, sehingga dikenal misalnya istilah: saudara laki-laki (brother), saudara perempuan (sister), tetangga, musuh, guru, teman, dst (Spradley, 1972).

Dua orang sejoli misalnya, menggagalkan perkawinan yang telah direncanakan setelah menyadari bahwa keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan yang disebutnya sebagai brother atau sister. Jadi istilah brother atau sister di sini, memiliki makna dan diberi makna dalam konteks tindakan (larangan kawin; incest) bagi warga masyarakat yang bersangkutan. Pengetahuan budaya seperti “dilarang kawin” dengan saudara dekat demikian ini merupakan salah satu contoh dari sistem-sistem pengetahuan (knowledge systems) kekerabatan. Untuk selanjutnya, sistem-sistem pengetahuan budaya masyarakat seperti itu dipakai untuk mengklasifikasi, mengatur, mendiagnosis suatu gejala, termasuk mengatur strategi-strategi yang digunakan. Misalnya sistem klasifikasi : tanam-tanaman, binatang, object material; aturan-aturan untuk menentukan: lokasi daerah, silsilah; prosedur untuk mendiagnosis sakit dan penyakit; serta susunan-susunan yang digunakan di dalam: perhitungan matematis dan penalaran deduktif; strategi untuk membuat: keputusan-keputusan yang legal, teknik-teknik pemecahan masalah; serta aturan-aturan berperilaku dalam pristiwa-peristiwa kebudayaan tertentu.

Sumber dari sistem-sistem pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat, menurut pandangan kognitif ini ialah dari persepsi-persepsi (percepts) terhadap suatu gejala alam atau gejala kehidupan dalam interaksi manusia. Gejala-gejala itu dibayangkan, direnungkan, bahkan dipertimbangkan sesuai dengan kognisi dan pengalaman orang-orang tersebut. Hasil dari pembayangan, perenungan, bahkan pertimbangan tersebut melahirkan pencitraan (image; imagery) tentang sesuatu hal tersebut. Pencitraan itu lantas diteruskan ke arah konkretisasi, sehingga ditemukan atau dipilih konsep-konsep yang dapat mewakili pemikiranaya itu. Pemilihan konsep-konsep tadi sifatnya arbitrer, dalam arti tidak ada rumusan-rumusan yang bersifat tetap dan menetap. Dari percep dan pembentukan konsep-konsep itu, berikutnya dikonversi ke dalam suatu bentuk-kode sehingga kita bisa saling melakukan komunikasi dan menciptakan pengetahuan baru.

Dengan “mekanisme kontrol”, berarti pikiran manusia itu pada dasarnya bersifat sosial dan publik. Berfikir di sini bukanlah merupakan ‘kejadian-kejadian di kepala” namun merupakan sebuah lalu lintas (dalam apa yang disebut) simbol-simbol yang bermakna. Sebagian besar simbol-simbol itu adalah kata-kata, tetapi juga isyarat-isyarat, lukisan-lukisan, bunyi-bunyian musik, peralatan mekanisme seperti jam, atau objek-objek alamiah seperti permata. Dalam kenyataan, simbol-simbol itu adalah segala sesuatu yang lepas dari keadaan yang sebenarnya dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam pengalaman. Mengapa? Karena simbol-simbol itu sendiri memiliki dua sifat sekaligus yaitu “menyatakan dan menyembunyikan”. Misalnya, orang berpakaian hitam pada saat melayat. Warna pakaian hitam di sini ialah menyatakan, tetapi mengapa memilih hitam, maknanya adalah tersembunyi. Menyembunyikan ungkapan perasaan “duka, sedih, berkabung, dsb”.

Dalam diri individu, simbol-simbol itu sebagian besar telah ada dalam komunitas ketika ia lahir, dan simbol-simbol itu dengan beberapa tambahan, tinggal sebagai pengurangan-pengurangan dan perubahan-perubahan yang boleh atau tidak boleh ia campurtangani, yang diteruskan setelah ia mati. Ketika hidup, ia mempergunakan simbol-simbol itu, untuk membangun sebuah konstruksi di atas peristiwa-peristiwa hidupnya, mengorientasikan dirinya di dalam “arus tak kunjung henti dari hal-hal yang dialami”.

Simbol-simbol atau sumber-sumber simbol penerangan (illumination) itu dibutuhkan manusia untuk menemukan pegangan-pegangannya di dalam dunia, karena sumber non-simbolis yang berurat-berakar secara konstitutif dalam tubuhnya memancarkan seberkas sinar yang menyebar. Bagi manusia, apa yang merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi. Kemampuan itu memungkinkan manusia memiliki kelenturan yang jauh lebih besar dan merupakan suatu kompleksitas. Kompleksitas itu perlu diatur oleh kebudayaan menjadi tata sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku manusia sebenarnya tak dapat diatur. Kebudayaan sebagai kumpulan totalitas pola-pola itu, tidak hanya sebuah hiasan bagi eksistensi manusia, melainkan merupakan sebuah syarat hakiki bagi eksistensi itu sendiri. Jadi, tak ada hakikat manusia yang tak tergantung dari kebudayaan.

Seperti yang dikatakan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, maka kebudayaan adalah jaringan-jaringan makna itu. Bagaimana melihat dan menganalisis jaringan-jaringan makna itu, ialah dengan menggunakan konsep semiotik. Sebagai sebuah konsep semiotik, analisis kebudayaan bukanlah berarti sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Untuk melakukan analisis kebudayaan diperlukan studi etnografi. Mengerjakan etnografi adalah menetapkan hubungan, menyeleksi informan-informan, menstranskrip teks-teks, mengambil silsilah-silsilah, memetakan sawah-sawah, mengisi sebuah buku harian dst. Semua tugas itu adalah usaha intelektual untuk membuat lukisan yang mendalam.

Apa yang dipahami dan yang ditafsirkan adalah data. Jadi data itu sesungguhnya adalah tafsiran-tafsiran kita sendiri mengenai tafsiran-tafsiran orang lain tentang apa yang dialami oleh mereka dan rekan-rekan (setanah air) mereka. Itu karena kebanyakan dari apa yang perlu kita mengerti dari suatu peristiwa khusus langsung diperiksa, seperti upacara keagamaan, adat kebiasaan, gagasan, atau apa saja yang disinggung sebagai informasi latar belakang di depan kenyataan pada dirinya.

Memahami kebudayaan suatu masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka tanpa menyempitkan pada kekhususan mereka. Dengan menempatkan mereka dalam kerangka pemaknaan itulah yang diacu sebagai “melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku” sebagai “pendekatan verstehen atau secara teknis sebagai “analisis emik” (insider looking). Perumusan-perumusan kita tentang sistem-sistem simbol bangsa-bangsa lain harus berorientasi pada pelaku. Jadi, paparan-paparan tentang kebudayaan Berber, Yahudi atau Perancis misalnya, harus diberikan dalam pengertian-pengertian tafsiran-tafsiran yang kita bayangkan tentang mereka, berdasarkan pada apa yang dimaksudkan dan apa yang tidak dimaksudkan, dengan mengatakan bahwa perumusan-perumusan kita tentang sistem-sistem simbol bangsa-bangsa lain harus berorientasi pada pelaku (Geertz, 1992: 18)

Menganalisis, karena itu, berarti menata struktur-struktur pemaknaan dan menentukan dasar-dasar serta makna sosial struktur-struktur itu. Jadi, mengerjakan etnografi itu, mirip usaha membaca (dalam arti menafsirkan sebuah bacaan dari) sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan-ketakkoherenan, perubahan-perubahan yang mencurigakan, dan komentar-komentar yang tendensius. Akan tetapi, manuskrip itu, ditulis tidak dalam kertas namun dalam contoh-contoh sementara dari tingkah laku yang tampak.

Analisis adalah menata struktur-struktur pemaknaan. Struktur pemaknaan itu adalah apa yang disebut Ryle sebagai kode-kode tetap. Selain menata struktur-struktur pemaknaan, analisis juga menentukan dasar dan makna sosial struktur-struktur itu. (Geertz, 1992: 11) Analisis merasuk ke dalam susunan objek itu, yakni kita mulai dengan penafsiran-penafsiran tentang apa yang disampaikan para informan kita, atau memikirkan yang mereka sampaikan dan lantas menata itu semua (Geertz, 1992: 19)

Kebudayaan paling efektif ditelaah secara murni sebagai sebuah sistem simbolis (kata kuncinya adalah “dalam istilah-istilahnya sendiri”) dengan mengisolasi unsur-unsurnya, mengkhususkan hubungan-hubungan internal di antara unsur-unsur itu. Setelah itu, dilanjutkan dengan mencirikan seluruh sistem dengan cara umum tertentu, yakni menurut pusat simbol-simbol dan struktur-struktur dasar dari kebudayaan. Simbol dan struktur dasar kebudayaan itu merupakan sebuah ekspresi lahiriah, atau prinsip-prinsip tempat ideologi didasarkan (Geertz, 1992: 21)

Kamis, 24 Desember 2009

الأصول من علم الأصول



الأصول من علم الأصول


PRINSIP ILMU USHUL FIKIH (EBOOK)

Oleh :

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin

Ushul Fikih adalah landasan yang seharusnya difahami oleh setiap thullabul ilmi, karena Ushul Fikih ini melandasi semua cara beristidlal dan berhujjah para ulama. Dengan ilmu inilah seseorang dapat memahami bagaimana para ulama di dalam menggali dan mengambil kesimpulan suatu hukum. Namun, ilmu ini bukanlah ilmu yang mudah dan bisa difahami begitu saja, tanpa bimbingan seorang ulama yang mumpuni dan tanpa penelaahan waktu yang panjang.

Betapa banyak pula orang yang mempergunakan ilmu ini untuk mempertahankan kesalahan, penyimpangan, bid’ah bahkan kekufurannya. Kita ambil contoh misalnya, komunitas JIL atau Muslim(?) Liberalis, betapa sering mereka menggunakan ilmu ushul fikih ini (secara serampangan tentunya) untuk memperkuat argumentasi dan dalil mereka di dalam menyebarkan kekufuran dan kesesatan. Begitu pula dengan kelompok-kelompok dan aliran sesat lainnya.

Bahkan, saya sendiri pernah terperanjat ketika mendengar ada seorang kiyai pernah mengatakan –ketika ditanya tentang hukum rokok- : “Rokok itu hukumnya makruh, namun bagi saya hukumnya wajib.” Ketika ditanya alasannya, ia dengan entengnya menjawab : “Saya apabila tidak merokok tidak bisa konsentrasi mengajar, sedangkan mengajar adalah kewajiban saya, di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan : maa laa yatimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, sesuatu yang apabila tanpa keberadaannya maka tidak sempurna kewajiban maka sesuatu itu wajib hukumnya.” Demikian kurang lebih apa yang sang kiyai ini katakan.

Oleh karena itulah, sesuatu apabila ditempatkan tidak pada tempatnya pastilah keliru, salah bahkan dikatakan zhalim. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, maka diperlukan pemahaman mendasar yang harus difahami oleh seorang yang akan belajar ilmu ushul fikih. Oleh karena itulah, buku al-Ushul min ‘Ilmil ‘Ushul ini layak kiranya dibaca bagi orang yang ingin memahami landasan di dalam memahami ilmu ushul yaitu ushul fikih.

Buku ini adalah buku buah karya dari Faqihuz Zaman al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, seorang ulama besar ahli fikih, ushul, aqidah, tafsir dan hadits telah wafat 1421 H. kemarin. Semoga Alloh merahmati beliau. Kepergian beliau ada bencana dan musibah bagi umat islam, sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah bahwa ilmu umat ini tidak akan dicabut sekaligus, namun Alloh mencabutnya dengan mewafatkan para ulama.

Di dalam buku ini banyak sekali faidah dan ilmu yang bisa kita ambil, bahasanya mudah, sistematis dan ringkas, sehingga tidak membuat orang menjadi bosan menelaahnya –kurang lebih inilah yang saya rasakan-. Semoga Alloh membalas penulis buku ini dengan pahala-Nya yang berlimpah dan membalasnya dengan surga Alloh. Buku ini dialihbahasakan oleh al-Akh al-Fadhil Abu Shillah dan isteri jazzahumallahu khoyrol jazaa’ ‘anil Islam wal Muslimin yang telah meluangkan waktu dan bersusah-payah untuk menyebarkan faidah ini kepada umat. Semoga buku ini bisa bermanfaat.

Antara Fikih Dan Syariat Islam


Banyak cara yang dilakukan oleh orang-orang Barat kafir untuk menghancurkan Islam. Salah satunya adalah dengan membedakan istilah fikih dengan syariat. Fikih dianggap relatif dan nisbi, sedangkan syariat dianggap mutlak dan permanen. Fikih dianggap tak lebih sebagai interpretasi manusia atas syariat —yang banyak dipengaruhi oleh latar belakang ideologi dan kondisi sosio-psikologisnya— dan bukan syariat itu sendiri. Dengan kata lain, syariat adalah hukum Tuhan, yang hanya Tuhan sendirilah yang paham, sedangkan fikih sekadar penafsiran manusia atas hukum Tuhan itu, yang bisa berbeda-beda dan beraneka ragam. Itulah beberapa pemahaman dari sebagian kaum Muslim yang sudah ter-Barat-kan dalam memandang fikih dan syariat Islam. Betulkah demikian?

Telaah Kitab kali ini bermaksud meluruskan kembali makna fikih dan syariat, dengan merujuk pada penjelasan yang ada dalam kitab, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, jilid III, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di samping yang terdapat dalam beberapa kitab ushul fikih karya para ulama yang lain. Selamat membaca!

Pemahaman Keliru Tentang Fikih Dan Syariat Islam

Pertama, fikih dianggap sebagai hukum syariat yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempat. Di antara argumentasi yang dijadikan dalih untuk mendukung anggapan ini adalah adanya qawl qadîm dan qawl jadîd-nya Imam asy-Syafi’i serta adanya perbedaan fatwa hukum yang dikeluarkan oleh para ulama dalam kasus yang sama pada tempat, kondisi, dan waktu yang berbeda. Kenyataan ini dianggap sebagai bukti bahwa fikh bisa berubah karena perubahan tempat, kondisi, dan waktu.

Kedua, fikih dianggap berbeda dengan syariat. Fikih digali dari nash yang dzanni, bisa disesuaikan dengan kondisi dan fakta, sedangkan syariat digali dari dalil yang qath’i. Pemahaman fikih semacam ini telah menempatkan fikih pada kondisi interpretasi, sedangkan syariat pada kondisi yang tidak diinterpretasi. Bahkan, sebagian orang menganggap syariat itu hanya diketahui oleh Allah SWT, sedangkan manusia hanya mengetahui fikih belaka. Karena itu, jargon penerapan syariat Islam yang dipropagandakan sebagian gerakan Islam mereka anggap sebagai propaganda dangkal yang tidak sejalan dengan akal sehat. Menurut mereka, yang benar adalah menerapkan fikih Islam bukan menerapkan syariat Islam. Sebab, masih menurut mereka, kebenaran syariat itu bersifat mutlak, dan hanya diketahui oleh al-Khaliq. Atas dasar itu, perjuangan menerapkan syariat Islam sama artinya dengan memperjuangkan sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

Ketiga, dari sisi metodologi, sebagian orang menganggap bahwa fikih sah-sah saja digali berdasarkan fakta, kondisi, dan momentum yang sedang berkembang. Lebih dari itu, muncul anggapan bahwa dalil untuk masalah fikih tidak harus didasarkan pada dalil-dalil syariat. Fikih bersifat fleksibel dan dinamis, tidak sebagaimana syariat. Akibatnya, perkara yang sudah jelas hukumnya bisa diinterpretasi ulang berdasarkan realitas dan kenyataan. Misalnya, keharaman kepemimpinan wanita dalam institusi negara bisa diubah menjadi halal –dengan dalih fikih— sesuai dengan konteks realitas dan kepentingan politik. Anggapan semacam ini telah mereduksi fikih pada tataran yang sangat rendah, bahkan cenderung melecehkan fikih itu sendiri. Sebab, mereka telah mensejajarkan fikih dengan pendapat yang lahir dari hawa nafsu dan kepentingan politik. Lahirlah kemudian, ‘fikih realitas’ (fiqh al-wâqi’), ‘fikih keseimbangan’ (fiqh al-muwâzanah), ‘fikih gerakan’, dan sebagainya, yang digali berdasarkan realitas dan kenyataan, serta menggunakan metodologi istinbâth (penggalian hukum) yang serampangan. Akhirnya, fikih Islam hanya digunakan sebagai penjustifikasi fakta rusak yang bertentangan dengan syariat Islam.

Inilah beberapa anggapan keliru mengenai fikih dan syariat. Anggapan seperti di atas hampir telah menjadi mainstream berpikir mayoritas kaum Muslim. Ironisnya, asumsi-asumsi salah di atas justru digulirkan oleh sebagian kaum Muslim dengan dalih ‘pencerahan dan pembaruan’ agama. Padahal, yang terjadi bukanlah pencerahan dan pembaruan, tetapi pembusukan dan penghancuranan Islam.

Sudah semestinya kita meletakkan kembali garis lurus di antara garis-garis yang bengkok agar umat selalu berjalan di atas jalan yang lurus dan benar, dan agar mereka tidak mudah berpaling pada propaganda-proganda murahan.

Menelusuri Kembali Makna Fikih Dan Syariat

Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman) (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5. Lihat juga: Imam al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9). Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm) (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5).

Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:

1. Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî) (An-Nabhani, ibid., III/5).

2. Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah (Al-Amidi, op.cit., I/9).

3. Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).

Sedangkan syariat/syariah (syarî’ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:

1. Syariat adalah perintah Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ’ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh’i (kondisi) (khithâb asy-Syâri’ al-muta’alliq bi af’âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ’ aw al-takhyîr, aw al-wadl’i) (An-Nabhani, op.cit., III/31).

2. Syariat adalah perintah Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaq bi af’âl al-mukallafîn) (Al-Amidi, op.cit.)

3. Syariat adalah perintah Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaq bi af’âl al-‘ibâd) (Al-Amidi, ibid., I/70-71).

4. Syariat adalah perintah Asy-Syâri’ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ’ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh’i (kondisi) (khithâb asy-Syâri’ al-muta’allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ’ aw al-takhyîr, aw al-wadl’i) (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).

Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.

Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Qur’an, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya. Istilah fikih digunakan oleh para ulama kalau membicarakan pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis, yang didasarkan pada dalil-dalil rinci (kasus-perkasus), seperti wajibnya sholat, syarat sahnya sholat, keharaman riba, wajibnya shaum, dan lain-lain.

Syariat Dan Fikih Harus Ditetapkan Berdasarkan Dalil Syariat

Kesalahan anggapan pertama.

Tidak benar jika dinyatakan bahwa fikih bersifat fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi, tempat, dan waktu; sedangkan syariat tidak. Sebab, baik fikih maupun syariat adalah hukum yang digali (di-istinbâth) dari dalil-dalil syariat untuk menghukumi sebuah fakta. Dengan kata lain, fikih dan syariat harus ditetapkan berdasarkan dalil syariat (al-Qur’an, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas), bukan didasarkan pada kenyataan. Fikih dan syariat harus lahir melalui proses penggalian (istinbâth) terhadap dalil, bukan lahir dari fakta dan kenyataan yang ada.

Perbedaan fatwa dan pendapat yang dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kasus yang sama karena adanya perbedaan tempat dan kondisi tidak serta-merta menunjukkan bahwa beliau telah menjadikan fakta dan kondisi sebagai mashdar al-hukm (sumber hukum), tetapi harus dipahami bahwa hakikat permasalahannya berbeda, tidak sama persis. Akibatnya, hukum yang ditetapkan untuk fakta tersebut adalah berbeda. Bahkan, Imam Syafi’i sendiri telah mengkritik dengan keras siapa saja yang berdalil dengan istihsân (menetapkan mana yang lebih baik dengan lebih mempertimbangkan akal dan bukan berdasarkan dalil). Beliau menyatakan, “Siapa saja yang melakukan istihsân, maka ia telah membuat syariat, dan siapa saja yang telah membuat syariat, maka sesungguhnya ia telah kafir.”

Kesalahan anggapan kedua.

Fikih memang berbeda dengan syariat, tetapi substansi pembahasannya adalah sama, yakni hukum. Dengan kata lain, baik fikih dan syariat sama-sama harus lahir dari dalil syariat, bukan dari fakta atau realitas yang ada. Pendapat yang menyatakan bahwa fikih bisa disesuaikan dengan fakta harus ditolak. Sebab, sumber dari fikih adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Namun demikian, tatkala seorang fakih hendak menghukumi sebuah fakta, ia tidak cukup hanya memahami nash-nash syariat belaka, tetapi juga harus memahami realitas. Ini ditujukan agar hukum dan realitas yang dihukumi sesuai dan sejalan. Sebab, realitas yang berbeda memiliki hukum yang berbeda. Dengan kata lain, pada tiap realitas ada hukum syariat yang berlaku atasnya secara spesifik.

Anggapan bahwa syariat hanya diketahui oleh Allah SWT saja adalah anggapan yang sangat keliru dan dangkal. Bahkan, asumsi semacam ini telah menunjukkan bahwa orang tersebut tidak memahami fikih dan syariat secara mendalam. Sebab, dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum dengan hukum Allah (syariat). Lantas, bagaimana mungkin Allah SWT memerintahkan kepada kita sesuatu yang kita sendiri tidak bisa memahaminya? Mahasuci Allah dari kesia-siaan. Allah SWT berfirman:

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 44).

Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisâ’ [4]: 65).

Karena itu, propaganda penerapan syariat Islam adalah propaganda benar dan perjuangan yang realistis, tidak utopis. Dan secara praktis pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam perjalanan dakwah beliau hingga wafat.

Kesalahan anggapan ketiga.

Dari sisi metodologis (istinbâth), syariat harus digali dari al-Qur’an, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Syariat tidak boleh lahir dari fakta atau bisa dipengaruhi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena perbincangan fikih adalah hukum syariat, maka kaidah istinbâth syar’iyyah juga berlaku di dalam masalah fikih. Tidak benar jika sebagian kaum Muslim menyatakan bahwa persoalan fikih bisa diotak-atik berdasarkan kondisi, waktu, dan tempat. Sebab, ketetapan hukum apapun harus lahir dari dalil syariat, bukan dari fakta maupun kepentingan politik sesaat.

Khatimah

Sesungguhnya, di balik pendistorsian makna fikih dan syariat ada maksud-maksud politis tertentu, yakni menjadikan realitas sekularistik-kapitalistik ini sebagai sumber untuk menetapkan hukum. Padahal, hukum harus digali berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas; bukan berdasarkan fakta yang ada. Kedudukan realitas hanyalah sebagai obyek yang dihukumi (manâth al-hukmi), bukan sebagai sumber hukum (mashdar al-hukm). Fakta harus tunduk dan disesuaikan dengan syariat, bukan sebaliknya.

Motif lain dari upaya pendistorsian makna fikih ini adalah untuk melanggengkan rejim sekularistik-kapitalistik yang kufur ini. Dengan mengatasnamakan fikih, mereka berusaha merusak dan menghancurkan kesucian syariat Islam. Syariat Islam hanya mereka gunakan sebagai alat untuk menjustifikasi fakta rusak akibat diterapkannya sistem sekular yang kufur ini.

Untuk itu, umat Islam harus segera sadar dan bangkit, bahwa upaya-upaya untuk merusak dan menghancurkan kesucian ajaran Islam mulai masuk di jantung pertahanan kaum Muslim, yakni merusakan pemahaman umat terhadap akidah dan hukum Islam.

Wallâhu a’lam.




Jumat, 18 Desember 2009

idhofah

مبتدأ من مضاف اليه

MUBTADA DARI MUDOF ILAIH

Dalam bahasa Arab ada dua macam jumlah atau kalimat (dalam bahasa Indonesia), yaitu ; jumlah ismiyah (kalimat nominal) dan jumlah fi’liyah (kalimat verbal). Jumlah ismiyah adalah jumlah yang disusun dari dua unsur, yaitu ; مبتدأ Mubtada (pokok kalimat) dan khobar (keterangan). Sedangkan jumlah fi’liyah adalah jumlah yang disusun dari dua unsur, yaitu ; fi’il (kata kerja) dan fa’il (pelaku/subjek).

Pada bagian ini akan dibahas tentang مبتدأ mubtada dari مضاف اليه mudoh ilaih. Sebelumnya kita bahas terlebih dahulu “apa itu مبتدأ mubtada” dan “apa itu مضاف اليه mudoh ilaih”.

1. مبتدأ Mubtada. مبتدأ Mubtada adalah salah satu unsur dalam suatu jumlah ismiyah yang berfungsi sebagai pokok kalimat dan letaknya wajib/selalu di awal jumlah. Mubtada dibentuk dari isim (kata benda) yang benda tersebut sifatnya harus ma’rifah (tentu/jelas). Isim ma’rifah diantaranya ; dhomir, isim alam, isim isyaroh, isim yang diberi alif dan lam didepanya dan susunan Idofah.

Contoh :

البيت كبير

Rumah itu besar = albaitu (mubtada) kabiirun (khobar)

انا تلميذ

Saya seorang pelajar = ana (mubtada) tilmiidzun (khobar)

2. Idofah. Dalam bahasa Indonesia disebut juga kata majemuk. Adalah suatu ungkapan yang terdiri dari dua kata yang kedua-duanya adalah isim (kata benda), yang pertama disebut مضاف mudof, yang kedua disebut مضاف اليه mudof ilaih dan memiliki satu pengertian (arti).

a. مضافMudof adalah isim yang disandarkan kepada isim sesudahnya/didepannya, yang sifatnya menjadi ma’rifah atau tertentu/khusus karena hubungan ini, sifatnya ma’rifah. Artinya harokatnya bertanwin dan pada waktu diidofahkan maka tanwinnya harus dibuang, jika bentuknya mufrod. Dan jika mustanna atau jamak mudzakar salim maka ن (nun) nya harus dibuang.

b. مضاف اليه Mudof ilaih adalah isim yang terletak sesudah مضاف mudof, yang letaknya wajib majrur atau berbaris kasroh dengan bunyi (i) atau (in).

Contoh :

مسجد المدرسة

Masjid sekolah = masjidul (mudof) madrosati (mudof ilaih)

سورة الفاتحة

Surat alfatihah = suuratul (mudof) faatihati (mudof ilaih)

3. مبتدأ Mubtada dari مضاف اليه mudof ilaih adalah مضافmudof/ مضاف اليه mudof ilaih yang berkedudukan/berfungsi sebagai pokok kalimat pada jumlah ismiyah.

Contoh :

سيارة الأستاذ جميلة

Mobil guru itu bagus = Sayyaaratul ustaadzi (mubtada mudof ilah) jamiilatun (khobar)

كتاب علي جديد

Buku Ali baru = Kitaabu Aliyin (mubtada mudof ilah) jadiidun (khobar)

كتاب فاطمة جديدة

Buku Fatimah baru = Kitaabu Fatimata (mubtada mudof ilah) jadiidatun (khobar)

مسطرة أستاذ جديدة

Penggaris guru baru = Mistharatu ustaadin (mubtada mudof ilah) jadiidatun (khobar)

دراجة استاذ في الفناء

Sepeda guru di halaman = Darraajatu ustadzin (mubtada mudof ilah) fil finaa i (khobar)

Serka Rahmat Iin Suryana, KIB Arab ‘08

Rabu, 16 Desember 2009

Jawaban UAS

SOAL UAS
Jawablah Pertanyaan di bawah ini !
1. Jelaskan pengertian dari beberapa istilah berikut:
  a. E-Mail
  b. Web Site
  c. Blog
  d. Attachment file
2. Identifikasikan beberapa menu yang ada pada blog (blogger/wordpress/multiply)
3. Bagaimana cara mengedit template pada blog (blogger/wordpress/multiply)
4. Bagaimana cara menambahkan script HTML pada blog
5. Kirim jawaban ada dalam bentuk .doc melalui email ke kkpionsmkn1sda@gmail.com dengan subject/judul UTS dan Tulis alamat blog anda (Contoh: zalozia.multiply.com) pada E-mail yang anda dikirim
6. Tulis kembali jawaban tersebut sebagai posting di blog anda

PENYELESAIAN

1. Jawbannya adalah :

  * E-mail adalah surat melalui media elektronik.Sebenarnya email merupakan singkatan dari “Electronic mail”. Melalui email kita dapat mengirim surat elektronik baik berupa teks maupun gabungan dengan gambar, yang dikirimkan dari satu alamat email ke alamat lain di jaringan internet. Apabila kita mengirim surat melalui email kita dapat memperoleh beberapa manfaat .
  * Website atau situs juga dapat diartikan sebagai kumpulan halaman yang menampilkan informasi data teks, data gambar diam atau gerak, data animasi, suara, video dan atau gabungan dari semuanya, baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink). Bersifat statis apabila isi informasi website tetap, jarang berubah, dan isi informasinya searah hanya dari pemilik website. Bersifat dinamis apabila isi informasi website selalu berubah-ubah, dan isi informasinya interaktif dua arah berasal dari pemilik serta pengguna website. Contoh website statis adalah berisi profil perusahaan, sedangkan website dinamis adalah seperti Friendster, Multiply, dll. Dalam sisi pengembangannya, website statis hanya bisa diupdate oleh pemiliknya saja, sedangkan website dinamis bisa diupdate oleh pengguna maupun pemilik.
  * Blog pada dasarnya adalah sebuah jurnal yang tersedia di web. Kegiatan update blog dinamakan blogging, sedangkan orang yang mempunyai/membuat blog adalah blogger. Blog biasanya diperbarui setiap hari dengan menggunakan software bawaan dari penyedia blog yang sangat mudah dalam penggunaannya sehingga memungkinkan orang yang bukan berlatar belakang teknis website bisa melakukannya dengan mudah. Halaman di dalam blog hampir seluruhnya bersifat kronologikal, artinya disusun berdasarkan waktu kejadian atau waktu posting.
  * Attachment file adalah Alat pelengkap, penempelan, adhesi. Istilah ini banyak digunakan dalam penggunaan email. Jika anda mengirim sebuah file melalui email, maka file tersebut disebut attachment. Attachment email dapat berupa jenis file apa saja.

2. Beberapa menu dalam blogger.

  * Posting digunakan untuk menambah atau merubah bacaan yang akan ditampilkan. Didalam menu postimg terdapat beberapa menu seperti : Entri Baru, Edit Entri dan Moderasi Komentar
  * Pengaturan digunakan untuk mengatur berbagai hal yang ada di dalam blog. Didalam menu peraturan terdapat beberapa menu seperti : Dasar, Publikasi, Format, Komentar, Arsipkan, Feed situs, Email & Seluler, Open ID, dan Izin.
  * Tata Letak digunakan untuk mengedit atau menambahkan sesuatu pada blog.Didalam menu Tata Letak terdapat beberapa menu seperti: Elemen Laman, Font dan Warna, Edit HTML dan Pilih Template Baru.
  * Lihat Blog digunakan untuk melihat blog yang telah kita rubah ataupun tidak.
  * Keluar digunakan jika kita ingin keluar atau sing out setelah kita sing in.
  * Dasbor digunakan untuk kembali ke menu awal setelah kita sing in.
  * Akunku digunakan untuk men setting account.
  * Bantuan digunakan apabila kita memerlukan bantuan atau pertanyaan tentang blogger.

3. Caranya adalah :  

  * Sing in dahulu di blogger.
  * Klik menu TATA LETAK .
  * Klik menu EDIT HTML
  * Jika anda sudah mendowload template anda tinggal mengklik menu browse dan meng upload file tersebut.
  * Jika anda belum mendowload template anda tinggal mencarinya di google dan mencopy ccs nya ke dalam kotak dialog edi template.
  * Lalu klik menu simpan template.
  * Klik menu konfirmasi dan simpan. Dan template anda pun sudah berubah.

4.Caranya adalah :

  * sing in dahulu di logger.
  * klik menu Tata Letak.
  * klik pada kata “ Tambah Gadget “
  * pilih menu HTML/ Javascript.
  * tambahkan HTML pada kotak dialog dan jika selesai klik menu save.





Nama: Ferli Nur Sobiirin
Kelas:XI TAV
No.urut:14


Sabtu, 12 Desember 2009

Santri Jatuh Cinta


Cinta. Begitu mudahnya seseorang itu jatuh cinta. Tak menutup kemungkinan makhluk yang disebut dengan santri. Cinta seseorang kepada lawan jenis merupakan fitrah yang perlu dijaga dan dimanaj dengan kekuatan diri masing-masing orang. Santri sebuah pesantren bukanlah malaikat yang bersih dari nafsu syahwati. Santri pesantren bukanlah hamba Allah yang terjaga sepenuhnya dari kesalahan dan dosa, karena dia adalah manusia biasa yang memiliki perasaan sebagaimana orang di luar pesantren. Betapa banyak kita temukan cerita dalam sebuah novel-novel pop pesantren yang mengisahkan seorang santri yang jatuh cinta.

Betapapun kuatnya peraturan yang ada dalam sebuah pesantren itu ditegakkan. Seorang santri tetap saja tidak bisa menghindar dari adanya rasa saling tertarik kepada lawan jenis. Dan paling tidak peraturan itu hanya bisa sebagai benteng supaya tidak terjebak dalam pergaulan bebas sebagaimana yang terjadi di luar pesantren saat ini. Bukan berarti santri itu tidak mampu menjaga dirinya atau bahkan lebih ganas dari orang umum di luar pesantren, akan tetapi jauh dari itu adalah supaya nama baik pesantren tetap terjaga dengan baik, tidak tercemar dan jauh dari tuduhan-tuduhan negatif yang datang dari luar.

Jatuh cinta hanyalah sekedar perasaan suka. Hanya saja perlu adanya batasan-batasan dalam hal tersebut, salah satunya yaitu dibuatnya peraturan tidak diperbolehkannya seorang santri menjalin hubungan ajnabiyah (lawan jenis). Hal ini sebenarnya bertujuan baik sekali, karena bisa lebih mengontrol jam keluar santri di pesantren. Apabila peraturan ini dihilangkan, kemungkinan besar para santri beramai-ramai mengeksplor perasaan-perasaan liar kepada yang dicintainya. Namun permasalahannya sekarang adalah apakah salah bila seorang santri itu jatuh cinta?

Jawaban masing-masing person pasti bervariasi. Bagi mereka yang mengatakan boleh, tentunya bukan berarti menentang peraturan yang ada. Tapi lebih mengarah pada sisi positif dan negatifnya. Umpamanya bila ia tidak boleh jatuh cinta, maka ia akan stress dan hari-harinya diliputi kegelisahan yang sangat, padahal ia ingin segera memiliki pendamping hidup. Maka inilah keringanan baginya karena memang waktu yang sudah tepat. Dan tentunya akan mengarah pada sisi positifnya karena ia telah memiliki niat untuk menjalankan sunnah Rasulullah SAW yaitu menikah.

Lain lagi dengan santri yang memang belum saatnya untuk diberikan tanggung jawab besar seperti halnya rumah tangga dan hubungan dengan keluarga calon mertua. Maka akan sangat berbahaya dan lebih banyak sisi negatifnya dibanding kebaikan yang didapatkan. Kebanyakan mereka adalah para remaja yang tidak ada kontrol dari orang tua atau wali. Remaja yang memiliki kebebasan bergaul dengan siapa saja tanpa mengenal waktu. Dalam artian, tidak bisa membagi waktunya untuk kebutuhan di rumah, belajar dan sekolah atau pesantren.

Oleh karena itu, santri hendaknya bisa memprioritaskan antara kebutuhan belajar dengan kebutuhan bergaul. Lebih penting mana bermain di luar rumah ke sana-kemari dengan belajar mata pelajaran dan mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah) dari guru sekolah ataupun ustadz pesantren. Bila ia bisa memprioritaskan diantara keduanya dengan tepat, niscaya ia akan lebih memilih bergaul dengan buku pelajaran dibanding nongkrong bersama teman satu genk yang hanya mendatangkan kesenangan semu dan obrolan kosong dan gosip. Sebaiknya, bila memang perlu, bolehlah hanyalah sekedar rasa persaudaraan saja dan tidak berlebihan sehingga membuang-buang waktu belajar. Na’udzubillah min dzalik