Pendahuluan
Kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki secara bersama oleh warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai kebenaran sehingga fungsional sebagai pedoman. Satuan-satuan pengetahuan itu terumuskan dalam wujud kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan-ungkapan, pepatah-petitih, peribahasa, wacana-wacana, dalil-dalil, rumusan-rumusan, bahkan teori-teori. Keseluruhannya digunakan secara selektif dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan atau persoalan yang dihadapi. Penggunaan pengetahuan oleh orang per orang atau kelompok orang atau masyarakat, menggambarkan bahwa sejatinya pengetahuan dimaksud telah dipahami, diresapi, dan diyakini berkat adanya suatu proses pendidikan panjang (dari sejak kecil sampai dewasa) dalam bentuk internalisasi dan sosialisasi.
Misalnya, dua sejoli (laki-perempuan) bertemu lalu keduanya saling ingin memadu cinta bahkan perkawinan, tetapi setelah masing-masing tahu bahwa dirinya masih kerabat dekat (umpama: laki-laki itu adalah om untuk gadis yang mencintai), maka keduanya secara sadar menggagalkan rencana perkawinannya[1].
Melihat kasus hubungan pemuda dan pemudi yang membatalkan rencana perkawinan di atas, dapatlah kita renungkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang karenanya memiliki seperangkat pengetahuan yang dijadikan acuan pedoman yang disepakati bersama. Pengetahuan itu dipakai sebagai alasan yang mendasari dan yang mendorong, yang memotivasi, yang menentukan arah pilihan bertindak dan cara bertindak, serta hasil dari tindakan yang dinilai sebagai yang benar atau yang baik, menurut pikiran dan perasaan umumnya warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini, kebudayaan bukanlah pengetahuan itu sendiri, atau tindakan itu sendiri, bukan pula hasil tindakan itu sendiri. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang telah diterima dan diberlakukan umum sebagai pedoman dalam bertindak di dalam interaksi sosial dan untuk merencanakan, melaksanakan, dan menghasilkan karya-karya dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai makhluk sosial secara beradab.
Dalam kehidupan masyarakat manusia, sistem nilai-budaya secara universal berorientasi kepada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar itu ialah menyangkut: Hakikat Hidup, Hakikat Karya, Persepsi Manusia tentang Waktu, Pandangan Manusia terhadap Alam dan Hakikat Hubungan antarmanusia. Berlakunya kelima orientasi nilai tersebut, dicontohkan oleh Koentajaraningrat (bandingkan pada Kluckhohn dan Strodbeck, 1961) sebagai berikut.
Contohnya, mengapa dalam bekerja seseorang tidak mengedepankan masalah prestasi kerja secara optimal? Bisa jadi karena nilai kerja bagi mereka hanya ditempatkan sebagai “sekedar dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup” atau dalam ungkapan Jawa: ”nyambut gawe kanggo ngupaya upa” (bekerja untuk sekedar memperoleh sesuap nasi). Pada sebagian warga masyarakat yang lain memburu posisi seperti ingin menjadi bupati karena motivasi kerja bagi mereka adalah “memperoleh kedudukan”. Jabatan atau kedudukanlah yang menjadi dan dijadikan orientasinya. Makna-makna dari orientasi nilai budaya itu untuk (1) merepresentasikan dunia-angan yang ingin dicapai; (2) mengarahkan yang bersangkutan melakukan sesuatu sebatas yang diinginkan; serta (3) memantabkan perasaan bahwa diri yang bersangkutan telah berbuat seperti apa yang diangankan.
Bertolak pada konsep “orientasi nilai budaya” Kluckhohn dan Strodbeck inilah Koentjaraningrat (1987) mengaplikasikannya untuk masyarakat Jawa dari golongan petani dan industri seperti berikut.
Kerangka Orientasi Nilai Budaya Orang Jawa
Orientasi | Orang Jawa | Orientasi Nilai Budaya | |
Agraria | Industri | ||
Hidup | Nrimah, pasrah dan sumarah. Suatu rangkaian kesengsaraan. | Keprihatinan dan ditentukan oleh nasib. | Kegembiraan dan ditentukan upaya manusia sendiri. |
Kerja | Ngupaya upa. Ojo ngongso. | Mencari makan dan harta/ kedudukan | Kepuasan untuk hasil kerja. |
Hubungan antar manusia dan alam | Hidup selaras dengan alam | Tunduk kepada alam, atau selaras dengan alam. | Harus menyelami rahasia-rahasia alam dan menundukkan demi kepentingannya. |
Persepsi tentang waktu | Berorientasi pada masa lalu. | Mengacu masa sekarang dan masa lalu yang jaya. | Mengacu masa yang akan datang.
|
Hubungan antar manusia dan sesamanya | Kolateral. | Mengacu, mencontoh, dan meminta restu orang senior. | Mengacu pada orang yang berprestasi tinggi, bersikap mandiri, dan individualisme. |
Dalam pandangan kognitif, sebagaimana diajukan oleh Keesing, Goodenough, Tylor, dan Spradley, inti dari kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan (knowledges) dan simbol-simbol. Seperangkat pengetahuan itu berupa sistem-sistem kategori atau peta-peta pengetahuan (cognitive maps). Dengan peta kognitif yang dimiliki oleh masyarakat, memungkinkan yang bersangkutan menginterpretasi tingkah laku dan peristiwa-peristiwa yang teramati, memilih dan mengklasifikasi pengalaman serta menyusun rencana-rencana (plans) di dalam mencapai tujuannya. Sistem-sistem kategori yang ada didasarkan atas seleksi dari atribut-atribut yang menyertai. Hasil seleksi tadi diberi label, sehingga dikenal misalnya istilah: saudara laki-laki (brother), saudara perempuan (sister), tetangga, musuh, guru, teman, dst (Spradley, 1972).
Dua orang sejoli misalnya, menggagalkan perkawinan yang telah direncanakan setelah menyadari bahwa keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan yang disebutnya sebagai brother atau sister. Jadi istilah brother atau sister di sini, memiliki makna dan diberi makna dalam konteks tindakan (larangan kawin; incest) bagi warga masyarakat yang bersangkutan. Pengetahuan budaya seperti “dilarang kawin” dengan saudara dekat demikian ini merupakan salah satu contoh dari sistem-sistem pengetahuan (knowledge systems) kekerabatan. Untuk selanjutnya, sistem-sistem pengetahuan budaya masyarakat seperti itu dipakai untuk mengklasifikasi, mengatur, mendiagnosis suatu gejala, termasuk mengatur strategi-strategi yang digunakan. Misalnya sistem klasifikasi : tanam-tanaman, binatang, object material; aturan-aturan untuk menentukan: lokasi daerah, silsilah; prosedur untuk mendiagnosis sakit dan penyakit; serta susunan-susunan yang digunakan di dalam: perhitungan matematis dan penalaran deduktif; strategi untuk membuat: keputusan-keputusan yang legal, teknik-teknik pemecahan masalah; serta aturan-aturan berperilaku dalam pristiwa-peristiwa kebudayaan tertentu.
Sumber dari sistem-sistem pengetahuan yang dimiliki oleh warga masyarakat, menurut pandangan kognitif ini ialah dari persepsi-persepsi (percepts) terhadap suatu gejala alam atau gejala kehidupan dalam interaksi manusia. Gejala-gejala itu dibayangkan, direnungkan, bahkan dipertimbangkan sesuai dengan kognisi dan pengalaman orang-orang tersebut. Hasil dari pembayangan, perenungan, bahkan pertimbangan tersebut melahirkan pencitraan (image; imagery) tentang sesuatu hal tersebut. Pencitraan itu lantas diteruskan ke arah konkretisasi, sehingga ditemukan atau dipilih konsep-konsep yang dapat mewakili pemikiranaya itu. Pemilihan konsep-konsep tadi sifatnya arbitrer, dalam arti tidak ada rumusan-rumusan yang bersifat tetap dan menetap. Dari percep dan pembentukan konsep-konsep itu, berikutnya dikonversi ke dalam suatu bentuk-kode sehingga kita bisa saling melakukan komunikasi dan menciptakan pengetahuan baru.
Dengan “mekanisme kontrol”, berarti pikiran manusia itu pada dasarnya bersifat sosial dan publik. Berfikir di sini bukanlah merupakan ‘kejadian-kejadian di kepala” namun merupakan sebuah lalu lintas (dalam apa yang disebut) simbol-simbol yang bermakna. Sebagian besar simbol-simbol itu adalah kata-kata, tetapi juga isyarat-isyarat, lukisan-lukisan, bunyi-bunyian musik, peralatan mekanisme seperti jam, atau objek-objek alamiah seperti permata. Dalam kenyataan, simbol-simbol itu adalah segala sesuatu yang lepas dari keadaan yang sebenarnya dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam pengalaman. Mengapa? Karena simbol-simbol itu sendiri memiliki dua sifat sekaligus yaitu “menyatakan dan menyembunyikan”. Misalnya, orang berpakaian hitam pada saat melayat. Warna pakaian hitam di sini ialah menyatakan, tetapi mengapa memilih hitam, maknanya adalah tersembunyi. Menyembunyikan ungkapan perasaan “duka, sedih, berkabung, dsb”.
Dalam diri individu, simbol-simbol itu sebagian besar telah ada dalam komunitas ketika ia lahir, dan simbol-simbol itu dengan beberapa tambahan, tinggal sebagai pengurangan-pengurangan dan perubahan-perubahan yang boleh atau tidak boleh ia campurtangani, yang diteruskan setelah ia mati. Ketika hidup, ia mempergunakan simbol-simbol itu, untuk membangun sebuah konstruksi di atas peristiwa-peristiwa hidupnya, mengorientasikan dirinya di dalam “arus tak kunjung henti dari hal-hal yang dialami”.
Simbol-simbol atau sumber-sumber simbol penerangan (illumination) itu dibutuhkan manusia untuk menemukan pegangan-pegangannya di dalam dunia, karena sumber non-simbolis yang berurat-berakar secara konstitutif dalam tubuhnya memancarkan seberkas sinar yang menyebar. Bagi manusia, apa yang merupakan bawaannya adalah kemampuan yang luar biasa untuk menanggapi. Kemampuan itu memungkinkan manusia memiliki kelenturan yang jauh lebih besar dan merupakan suatu kompleksitas. Kompleksitas itu perlu diatur oleh kebudayaan menjadi tata sistem simbol-simbol yang bermakna, sebab tanpa itu, tingkah laku manusia sebenarnya tak dapat diatur. Kebudayaan sebagai kumpulan totalitas pola-pola itu, tidak hanya sebuah hiasan bagi eksistensi manusia, melainkan merupakan sebuah syarat hakiki bagi eksistensi itu sendiri. Jadi, tak ada hakikat manusia yang tak tergantung dari kebudayaan.
Seperti yang dikatakan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, maka kebudayaan adalah jaringan-jaringan makna itu. Bagaimana melihat dan menganalisis jaringan-jaringan makna itu, ialah dengan menggunakan konsep semiotik. Sebagai sebuah konsep semiotik, analisis kebudayaan bukanlah berarti sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna. Untuk melakukan analisis kebudayaan diperlukan studi etnografi. Mengerjakan etnografi adalah menetapkan hubungan, menyeleksi informan-informan, menstranskrip teks-teks, mengambil silsilah-silsilah, memetakan sawah-sawah, mengisi sebuah buku harian dst. Semua tugas itu adalah usaha intelektual untuk membuat lukisan yang mendalam.
Apa yang dipahami dan yang ditafsirkan adalah data. Jadi data itu sesungguhnya adalah tafsiran-tafsiran kita sendiri mengenai tafsiran-tafsiran orang lain tentang apa yang dialami oleh mereka dan rekan-rekan (setanah air) mereka. Itu karena kebanyakan dari apa yang perlu kita mengerti dari suatu peristiwa khusus langsung diperiksa, seperti upacara keagamaan, adat kebiasaan, gagasan, atau apa saja yang disinggung sebagai informasi latar belakang di depan kenyataan pada dirinya.
Memahami kebudayaan suatu masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka tanpa menyempitkan pada kekhususan mereka. Dengan menempatkan mereka dalam kerangka pemaknaan itulah yang diacu sebagai “melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku” sebagai “pendekatan verstehen atau secara teknis sebagai “analisis emik” (insider looking). Perumusan-perumusan kita tentang sistem-sistem simbol bangsa-bangsa lain harus berorientasi pada pelaku. Jadi, paparan-paparan tentang kebudayaan Berber, Yahudi atau Perancis misalnya, harus diberikan dalam pengertian-pengertian tafsiran-tafsiran yang kita bayangkan tentang mereka, berdasarkan pada apa yang dimaksudkan dan apa yang tidak dimaksudkan, dengan mengatakan bahwa perumusan-perumusan kita tentang sistem-sistem simbol bangsa-bangsa lain harus berorientasi pada pelaku (Geertz, 1992: 18)
Menganalisis, karena itu, berarti menata struktur-struktur pemaknaan dan menentukan dasar-dasar serta makna sosial struktur-struktur itu. Jadi, mengerjakan etnografi itu, mirip usaha membaca (dalam arti menafsirkan sebuah bacaan dari) sebuah manuskrip yang bersifat asing, samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan-ketakkoherenan, perubahan-perubahan yang mencurigakan, dan komentar-komentar yang tendensius. Akan tetapi, manuskrip itu, ditulis tidak dalam kertas namun dalam contoh-contoh sementara dari tingkah laku yang tampak.
Analisis adalah menata struktur-struktur pemaknaan. Struktur pemaknaan itu adalah apa yang disebut Ryle sebagai kode-kode tetap. Selain menata struktur-struktur pemaknaan, analisis juga menentukan dasar dan makna sosial struktur-struktur itu. (Geertz, 1992: 11) Analisis merasuk ke dalam susunan objek itu, yakni kita mulai dengan penafsiran-penafsiran tentang apa yang disampaikan para informan kita, atau memikirkan yang mereka sampaikan dan lantas menata itu semua (Geertz, 1992: 19)
Kebudayaan paling efektif ditelaah secara murni sebagai sebuah sistem simbolis (kata kuncinya adalah “dalam istilah-istilahnya sendiri”) dengan mengisolasi unsur-unsurnya, mengkhususkan hubungan-hubungan internal di antara unsur-unsur itu. Setelah itu, dilanjutkan dengan mencirikan seluruh sistem dengan cara umum tertentu, yakni menurut pusat simbol-simbol dan struktur-struktur dasar dari kebudayaan. Simbol dan struktur dasar kebudayaan itu merupakan sebuah ekspresi lahiriah, atau prinsip-prinsip tempat ideologi didasarkan (Geertz, 1992: 21)